Kamis, 29 November 2012

Bioluminescence

Kata bioluminescence terdiri dari dua bahasa, bio (=hidup, Yunani) dan lumen (=cahaya, Latin). Bioluminescence adalah makhluk hidup yang bisa menghasilkan dan memancarkan cahaya yang terbentuk dari reaksi kimia yang dihasilkannya. Reaksi kimia tersebut terjadi di dalam sel maupun di luar sel. Bioluminescence adalah salah satu bentuk pemancaran cahaya, yang menghasilkan cahaya dingin, hanya 20% dari total cahaya yang menghasilkan panas. Namun, bioluminescence berbeda dengan flourescence ataupun phosphorescence.
Bioluminescence ditemukan di seluruh biosfer, tetapi hanya pada vertebrata laut, invertebrata dan beberapa jenis tumbuhan. Bioluminescence ditemukan pada makhluk hidup seperti chepalopoda, copepoda, ostracoda, amphipoda, euphausida, beberapa jenis ikan, annelida, plankton dan ubur-ubur. Di darat bioluminescence ditemukan pada beberapa jenis serangga, kunang-kunang, ulat (glow-worm), kumbang dan beberapa jenis diptera. Bioluminescence juga ditemukan pada mikroorganisme (bakteri) di darat maupun di laut.  Bakteri ini tergolong ke dalam bakteri gram negatif, motil, berbentuk batang dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Contoh bakteri penghasil bioluminescence adalah genus Vibrio (V. harveyi, V. fischeri, V. cholera ), Photobacterium (P. phosphoreum, P. leiognathi), Xenorhabdus (X. luminescens), Alteromonas (A. haneda) dan Shewanella. Sementara itu, hanya sedikit jamur yang diketahui dapat menghasilkan cahaya, di antaranya adalah Armillaria mellea, Panellus Stipticus, Omphalotus nidiformis dan Mycena sp.
Bioluminescence dapat ditemukan di seluruh dunia. Jenis mikroorganisme laut dapat ditemui hampir di semua lautan, terutama pada teluk dan terumbu karang yang memiliki konsentrasi nutrisi yang tinggi. Berbagai spesies kunang-kunang dapat ditemukan di daerah beriklim tropis seperti Amerika dan Asia Tenggara. Beberapa jenis glow-worm telah diidentifikasi di Amerika Utara, Eropa dan Australia. Menariknya, beberapa spesies bioluminescence hanya bercahaya di satu lokasi dan tidak dilokasi lain. Contohnya ikan Porichthys notatus (ikan taruna), ikan ini hanya bercahaya pada perairan yang memiliki sedikit sumber makanan.
A.  Fungsi bioluminescence
Fungsi bioluminescence adalah untuk: 
 
1. Kamuflase
Beberapa jenis dekapoda, chepalopoda dan ikan menggunakan bioluminescence untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan. 

Gambar 1. Cumi-cumi yang melakukan kamuflase terhadap lingkungan gelap.

2. Predasi
Bioluminescence digunakan sebagai umpan untuk menarik mangsa (predasi) oleh ikan laut dalam seperti pada beberapa jenis Anglerfish. Ikan ini menggunakan sungut yang menggantung yang dapat menghasilkan cahaya, sehingga ikan-ikan kecil tertarik untuk mendekati sungut dan memakannya. Hiu Cookiecutter juga menggunakan bioluminescence untuk mencari makan. Hiu ini hanya bercahaya pada bagian atasnya, sedangkan bagian perutnya gelap, sehingga hiu ini terlihat seperti ikan kecil. Ketika ikan besar seperti tuna dan sarden mencoba untuk memakan hiu yang menyamar menjadi ikan kecil, hiu itu malah memakan ikan tersebut. 
 Gambar 2. Anglerfish yang sedang mencari makan.

3. Menarik Pasangan
Berbagai spesies kunang-kunang memanfaatkan bioluminescence sebagai sinyal kawin. Setiap spesies memiliki pola dan warna pendaran yang berbeda. Umumnya, kunang-kunang jantan yang terbang rendah akan memulai memancarkan pendaran untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu kunang-kunang betina akan membalas sinyal tersebut dengan pola pendaran spesifik yang berbeda. Salah satu kunang-kunang dari genus Photuris dapat meniru dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki spesies kunang-kunang lainnya. Akibatnya pejantan atau betina dari spesies lain dapat salah mengenali dan mendekati Photuris. Hal ini dimanfaatkan Photuris untuk memangsa spesies kunang-kunang lainnya. Seperti halnya kunang-kunang, sejenis cacing di lautan Bermuda yang disebut Odontosyllis enopla juga menggunakan bioluminesensi untuk menarik pasangannya. Cacing betina akan mengeluarkan lendir berpendar untuk menarik pejantan ketika cacing jantan datang, cacing betina akan mengeluarkan telur dan jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi. 
Gambar 3. Kunang-kunang yang sedang memancarkan cahaya.

4. Pertahanan
Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok Dinoflagelata, ubur-ubur dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator.
 Gambar 4. Dinoflagellata menyebabkan laut bercahaya.

5. Komunikasi
Komunikasi antara bakteri (quorum sensing) memainkan peran dalam regulasi luminesence di banyak spesies bakteri. Menggunakan molekul ekstrasel yang disekresikan, mereka mampu untuk mengaktifkan gen untuk produksi cahaya ketika mereka berada di tempat yang padat.
Gambar 5. Sekelompok bakteri yang sedang berkomunikasi menghasilkan cahaya.

6. Aposematisme
Pada spesies bintang ular laut, cacing laut dan organisme bioluminesensi di daratan seperti larva kunang-kunang, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
 Gambar 6. Cacing yang mengeluarkan lendir bercahaya.

7. Penerangan
Kebanyakan ikan laut dalam menghasilkan cahaya hijau atau biru untuk penglihatan di dasar laut. karena di dasar laut abisal mengalami kegelapan abadi, sehingga hewan yang ada di sana harus bisa menghasilkan cahaya sendiri sebagai sumber penerangan. Ikan Black Dragonfish menghsilkan cahaya berwarna merah sebagai penglihatan terhadap mangsanya yang memiliki pigmen merah. 
Gambar 7. Contoh hewan di laut dalam. 


8. Penyerbukan
Beberpa jenis jamur juga dapat menghasilkan cahaya, seperti jamur hantu Omphalotus nidiformis yang memancarkan cahaya agar serangga mendekati jamur tersebut dan bisa menyebarkan sporanya. Selain itu agar tidak di makan oleh hewan lain karena dikira jamur tersebut tidak enak atau beracun.
Gambar 8. Jamur hantu yang memancarkan cahaya


B.  Reaksi Bioluminesensi
Secara umum, reaksi bioluminesensi melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin yang strukturnya dapat berbeda antara organisme yang satu dengan lainnya. Berikut ini adalah beberapa jenis lusiferin yang telah diketahui mekanisme dan strukturnya.
Gambar 9. Reaksi bioluminecence secara umum.

1. Kunang – kunang 

Kunang-kunang (Photuris) menggunakan substrat berupa D-lusiferin untuk menghasilkan pendaran. D-lusiferin akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan energi dari ATP dan Mg2+ sehingga dihasilkan emisi cahaya. Kunang-kunang juga memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi D-lusiferin yang dapat digunakan kembali sebagai substrat. Selain D-lusiferin, senyawa L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat bagi kunang-kunang untuk menghasilkan pendaran.
 
2. Bakteri
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux.
Enzim lusiferase akan mempergunakan substrat senyawa aldehida yang disintesis di dalam sel dengan bantuan multienzim yang disebut kompleks enzim aldehida lemak reduktase (fatty aldehyde reductase complex). Kompleks enzim ini terdiri dari tiga subunit enzim yaitu redutase, transferase dan sintetase yang masing-masing disandikan oleh gen luxC, luxD dan luxE.  Subunit transferase akan mengkatalisis pemindahan grup lemak yang teraktivasi oleh air, oksigen dan akseptor tiol. Kedua subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa) dan sintetase (~42 kDa) akan mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida dengan reaksi sebagai berikut :
RCOOH + NADPH + ATP --> RCHO + NADP + AMP + PPi.
Komponen sistem bioluminesensi lainnya adalah flavoprotein yang disandikan oleh gen luxF. Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum diketahui tetapi dari sekuens asam aminonya, diketahui bahwa protein ini homolog dengan lusiferase. Pada bakteri juga ditemukan luxG yang diduga memiliki peranan dalam reaksi bioluminesensi untuk bakteri yang hidup di lingkungan perairan. Khusus untuk V. harveyi juga ditemukan luxH yang berperan dalam sistem luminesensinya. Operon lux bekerja dibawah pengaruh protein regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan autoinduser (luxI).
Selain protein-protein yang disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4 protein lain yang memengaruhi reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase dan aldehida dehidrogenase. Lumazine yang ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada V. Fischeri sehingga cahaya yang diemisikan mengalami perubahan warna. Flavin reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2 sehingga substrat tersedia terus-menerus karena diregenerasi. Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam degradasi senyawa aldehida.
 
C.  Karakteristik Dari Emisi Cahaya
Bioluminescence hasil dari reaksi kimia yang melepaskan sejumlah besar energi, bukannya hilang sebagai panas seperti dalam reaksi kimia yang normal. Energi ini disalurkan untuk mengisi produk molekul dalam keadaan tereksitasi elektronik. Keadaan tereksitasi ini sama seperti yang diproduksi dalam molekul penyerapan radiasi, sehingga distribusi spektral bioluminescence sering sama dengan produk fluoresensi. Warna dari bioluminescence berkembang sesuai dengan fungsi dari emisi cahaya, yaitu untuk komunikasi, pertahanan, predasi, kamuflase, pencahayaan, penyerbukan, aposematisme dan menarik pasangan.
Radiasi cahaya yang dihasilkan dalam rentang panjang gelombang 400-700 nm. Bioluminescence maksimum spesies laut berkisar antara 450-510 nm, sedangkan organisme di darat telah didominasi warna kuning-hijau. Dalam air laut, biru-hijau (400-500 nm) luminescence mencapai transmisi maksimum, sedangkan spesies darat memiliki sensitivitas maksimum visual cahaya kuning. Pigmen visual organisme laut kebanyakan paling sensitif di daerah biru-hijau.

Gambar 10. Spektrum cahaya bioluminescence.



References
 

1. Haddock S.H.D., Moline M.A., and Case J.F. Bioluminescence in the sea. Annu. Rev. Mar. Sci. 2010;2: 443–493. 

2. Campbell A. K. Chemiluminescence: principles and applications in biology and medicine. Chichester: VCH/Horwood, 1988.

3. Harvey E.N. History of luminescence. Philadelphia: American Philosophical Society, 1957.

4. Shimomura, O. Bioluminescence: chemical principles and methods. Singapore: World Scientific, 2006.

5. Campbell A. K. and Herring P. J. Imidazolopyrazine bioluminescence in copepods and other marine organisms. Mar. Biol. 1990;104: 219-225.

6. Thomson C.M., Herring P. J. and Campbell A. K. The widespread occurrence and tissue distribution of the imidazolopyrazine luciferins. J. Biolumin. Chemilumin. 1997;12(2): 87-91.

7. Herring P.J. The spectral characteristics of luminous marine organisms. Proc. Roy. Soc. Lond. B. 1983;220: 183-217.

8. Inouye S., Noguchi M., Sakaki Y., et al. Cloning and sequence analysis of cDNA for the luminescent protein aequorin. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1985;82: 3154-3158.

9. Prasher D., McCann R.O., and Cormier M.J. Cloning and expression of the cDNA coding for aequorin, a bioluminescent calcium-binding protein. Biochem. Biophys. Res. Commun. 1985;126: 1259-1268.

10. De Wet J. R., Wood K. V., Helsinki D. R., et al. Cloning of firefly luciferase cDNA and the expression of active luciferase in Escherichia coli. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1985;82: 7870-7873.

11. Lorenz W. W., McCann R. O., Longiaru M., et al. Isolation and expression of a cDNA encoding Renilla reniformis luciferase. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1991;88: 4438-4442.

12. Viviani V. R., Bechara E.J., and Ohmiya Y. Cloning, sequence analysis, and expression of active Phrixothrix railroad-worms luciferases: relationship between bioluminescence spectra and primary structures. Biochemistry 199;38: 8271-8279.

13. Prasher D. C., Eckenrode V. K., Ward W.W., et al. Primary structure of the Aequorea victoria green-fluorescent protein. Gene 1992;111: 229-233.

14. Chalfie M., Tu Y., Euskirchen G., Ward, W.W., et al. Green fluorescent protein as a marker for gene expression. Science 1994;263: 802-805.

15. Zimmer M. Green fluorescent protein: a molecular microscope, on Photobiological Sciences Online (KC Smith, ed.). American Society for Photobiology, 2010. http://www.photobiology.info/