Kata
bioluminescence terdiri dari dua bahasa, bio (=hidup, Yunani) dan lumen
(=cahaya, Latin). Bioluminescence adalah makhluk hidup yang bisa menghasilkan
dan memancarkan cahaya yang terbentuk dari reaksi kimia yang dihasilkannya.
Reaksi kimia tersebut terjadi di dalam sel maupun di luar sel. Bioluminescence
adalah salah satu bentuk pemancaran cahaya, yang menghasilkan cahaya dingin,
hanya 20% dari total cahaya yang menghasilkan panas. Namun, bioluminescence
berbeda dengan flourescence ataupun phosphorescence.
Bioluminescence
ditemukan di seluruh biosfer, tetapi hanya pada vertebrata laut,
invertebrata dan beberapa jenis tumbuhan. Bioluminescence
ditemukan pada makhluk hidup seperti chepalopoda, copepoda,
ostracoda, amphipoda, euphausida, beberapa jenis ikan, annelida, plankton dan ubur-ubur. Di darat bioluminescence ditemukan pada beberapa jenis
serangga, kunang-kunang, ulat (glow-worm), kumbang dan beberapa jenis
diptera. Bioluminescence juga ditemukan pada mikroorganisme (bakteri) di darat maupun di laut. Bakteri ini tergolong ke dalam bakteri gram
negatif, motil, berbentuk batang dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif.
Contoh bakteri penghasil bioluminescence adalah genus Vibrio (V. harveyi,
V. fischeri, V. cholera ), Photobacterium
(P. phosphoreum, P. leiognathi), Xenorhabdus (X.
luminescens), Alteromonas (A. haneda) dan Shewanella. Sementara
itu, hanya sedikit jamur yang diketahui dapat menghasilkan cahaya, di antaranya
adalah Armillaria mellea, Panellus Stipticus, Omphalotus
nidiformis dan Mycena sp.
Bioluminescence dapat
ditemukan di seluruh dunia. Jenis
mikroorganisme laut dapat ditemui hampir di semua lautan, terutama pada teluk
dan terumbu karang yang memiliki konsentrasi nutrisi yang tinggi. Berbagai spesies kunang-kunang
dapat ditemukan di daerah beriklim tropis seperti
Amerika dan Asia Tenggara. Beberapa
jenis glow-worm telah diidentifikasi di Amerika Utara, Eropa dan Australia.
Menariknya, beberapa spesies bioluminescence
hanya bercahaya di satu lokasi dan tidak dilokasi lain. Contohnya ikan
Porichthys notatus (ikan taruna), ikan ini hanya bercahaya pada perairan yang
memiliki sedikit sumber makanan.
A. Fungsi
bioluminescence
Fungsi
bioluminescence adalah untuk:
1. Kamuflase
Beberapa
jenis dekapoda, chepalopoda dan ikan menggunakan bioluminescence untuk
melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti
ini disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu
makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di
lingkungan perairan.
Gambar 1. Cumi-cumi yang melakukan kamuflase terhadap lingkungan gelap.
Bioluminescence
digunakan sebagai umpan untuk menarik mangsa (predasi) oleh ikan laut dalam seperti pada beberapa
jenis Anglerfish. Ikan ini menggunakan sungut yang menggantung yang dapat
menghasilkan cahaya, sehingga ikan-ikan kecil tertarik untuk mendekati sungut
dan memakannya. Hiu Cookiecutter juga menggunakan bioluminescence untuk mencari
makan. Hiu ini hanya bercahaya pada bagian atasnya, sedangkan bagian perutnya
gelap, sehingga hiu ini terlihat seperti ikan kecil. Ketika ikan besar seperti
tuna dan sarden mencoba untuk memakan hiu yang menyamar menjadi ikan kecil, hiu
itu malah memakan ikan tersebut.
Gambar 2. Anglerfish yang sedang mencari makan.
3. Menarik Pasangan
Berbagai
spesies kunang-kunang memanfaatkan bioluminescence sebagai sinyal kawin. Setiap
spesies memiliki pola dan warna pendaran yang berbeda. Umumnya,
kunang-kunang jantan yang terbang rendah akan memulai memancarkan pendaran
untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Selanjutnya, dalam kurun
waktu tertentu kunang-kunang betina akan membalas sinyal tersebut dengan pola
pendaran spesifik yang berbeda. Salah satu kunang-kunang dari genus Photuris
dapat meniru dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki spesies
kunang-kunang lainnya. Akibatnya pejantan atau betina dari spesies lain dapat
salah mengenali dan mendekati Photuris. Hal ini dimanfaatkan Photuris
untuk memangsa spesies kunang-kunang lainnya. Seperti halnya kunang-kunang,
sejenis cacing di lautan Bermuda yang disebut Odontosyllis enopla juga
menggunakan bioluminesensi untuk menarik pasangannya. Cacing betina akan
mengeluarkan lendir berpendar untuk menarik pejantan ketika cacing
jantan datang, cacing betina akan mengeluarkan telur dan jantannya akan
mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi.
Gambar 3. Kunang-kunang yang sedang memancarkan cahaya.
4. Pertahanan
Setiap
makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang
berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri,
seperti yang dilakukan kelompok Dinoflagelata, ubur-ubur dan beberapa jenis
cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga
memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator.
Gambar 4. Dinoflagellata menyebabkan laut bercahaya.
5. Komunikasi
Komunikasi
antara bakteri
(quorum
sensing) memainkan peran
dalam regulasi
luminesence
di banyak spesies bakteri.
Menggunakan
molekul
ekstrasel
yang disekresikan,
mereka mampu
untuk mengaktifkan gen
untuk
produksi cahaya ketika mereka
berada di tempat yang padat.
6. Aposematisme
Pada
spesies bintang ular laut, cacing laut dan organisme bioluminesensi di daratan
seperti larva kunang-kunang, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang
disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa
makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga
predator akan menghindarinya.
Gambar 6. Cacing yang mengeluarkan lendir bercahaya.
7. Penerangan
Kebanyakan
ikan laut dalam menghasilkan cahaya hijau atau biru untuk penglihatan di dasar
laut. karena di dasar laut abisal mengalami kegelapan abadi, sehingga hewan yang ada di sana harus bisa menghasilkan cahaya sendiri sebagai sumber penerangan. Ikan Black Dragonfish menghsilkan cahaya berwarna merah sebagai
penglihatan terhadap mangsanya yang memiliki pigmen merah.
8. Penyerbukan
Gambar 7. Contoh hewan di laut dalam.
8. Penyerbukan
Beberpa
jenis jamur juga dapat menghasilkan cahaya, seperti jamur hantu Omphalotus nidiformis yang
memancarkan cahaya agar serangga mendekati jamur tersebut dan bisa menyebarkan
sporanya. Selain itu agar tidak di makan oleh hewan lain karena dikira jamur
tersebut tidak enak atau beracun.
Gambar 8. Jamur hantu yang memancarkan cahaya
B. Reaksi Bioluminesensi
Secara
umum, reaksi bioluminesensi melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin
yang strukturnya dapat berbeda antara organisme yang satu dengan lainnya. Berikut
ini adalah beberapa jenis lusiferin yang telah diketahui mekanisme dan
strukturnya.
Gambar 9. Reaksi bioluminecence secara umum.
Kunang-kunang
(Photuris) menggunakan substrat berupa D-lusiferin untuk menghasilkan
pendaran. D-lusiferin akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan
energi dari ATP dan Mg2+ sehingga dihasilkan emisi cahaya. Kunang-kunang juga
memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi D-lusiferin
yang dapat digunakan kembali sebagai substrat. Selain D-lusiferin, senyawa
L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat bagi kunang-kunang untuk
menghasilkan pendaran.
2. Bakteri
Reaksi
yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin
fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida
lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim
lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang
terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit
α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa)
disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, masih terdapat beberapa
enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim
tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux.
Enzim
lusiferase akan mempergunakan substrat senyawa aldehida yang disintesis di
dalam sel dengan bantuan multienzim yang disebut kompleks enzim aldehida lemak
reduktase (fatty aldehyde reductase complex). Kompleks enzim ini terdiri
dari tiga subunit enzim yaitu redutase, transferase dan sintetase yang
masing-masing disandikan oleh gen luxC, luxD dan luxE. Subunit transferase akan mengkatalisis
pemindahan grup lemak yang teraktivasi oleh air, oksigen dan akseptor tiol.
Kedua subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa) dan sintetase (~42 kDa) akan
mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida dengan reaksi sebagai
berikut :
RCOOH
+ NADPH + ATP --> RCHO + NADP + AMP + PPi.
Komponen
sistem bioluminesensi lainnya adalah flavoprotein yang disandikan oleh gen luxF.
Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum
diketahui tetapi dari sekuens asam aminonya, diketahui bahwa protein ini
homolog dengan lusiferase. Pada bakteri juga ditemukan luxG yang diduga
memiliki peranan dalam reaksi bioluminesensi untuk bakteri yang hidup di
lingkungan perairan. Khusus untuk V. harveyi juga ditemukan luxH yang
berperan dalam sistem luminesensinya. Operon lux bekerja dibawah
pengaruh protein regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan
autoinduser (luxI).
Selain
protein-protein yang disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4
protein lain yang memengaruhi reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein
fluoresensi kuning, flavin reduktase dan aldehida dehidrogenase. Lumazine yang
ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi memperpendek
panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan
protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi
540 nm pada V. Fischeri sehingga cahaya yang diemisikan mengalami
perubahan warna. Flavin reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2
sehingga substrat tersedia terus-menerus karena diregenerasi. Yang terakhir
adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam degradasi senyawa
aldehida.
C. Karakteristik Dari Emisi Cahaya
Bioluminescence
hasil dari reaksi kimia yang melepaskan sejumlah besar energi, bukannya hilang
sebagai panas seperti dalam reaksi kimia yang normal. Energi ini disalurkan
untuk mengisi produk molekul dalam keadaan tereksitasi elektronik. Keadaan
tereksitasi ini sama seperti yang diproduksi dalam molekul
penyerapan radiasi, sehingga distribusi spektral bioluminescence sering sama
dengan produk fluoresensi. Warna dari bioluminescence berkembang sesuai dengan
fungsi dari emisi cahaya, yaitu untuk komunikasi, pertahanan, predasi,
kamuflase, pencahayaan, penyerbukan, aposematisme dan menarik pasangan.
Radiasi cahaya
yang dihasilkan dalam rentang panjang gelombang 400-700 nm. Bioluminescence maksimum spesies laut berkisar antara 450-510 nm, sedangkan organisme di
darat telah didominasi warna kuning-hijau. Dalam air laut, biru-hijau (400-500
nm) luminescence mencapai transmisi maksimum, sedangkan spesies darat memiliki sensitivitas
maksimum visual cahaya kuning. Pigmen visual organisme laut
kebanyakan paling sensitif di daerah biru-hijau.
References
1. Haddock S.H.D., Moline M.A., and Case J.F. Bioluminescence in the sea. Annu. Rev. Mar. Sci. 2010;2: 443–493.
2. Campbell A. K. Chemiluminescence: principles and applications in biology and medicine. Chichester: VCH/Horwood, 1988.
3. Harvey E.N. History of luminescence. Philadelphia: American Philosophical Society, 1957.
4. Shimomura, O. Bioluminescence: chemical principles and methods. Singapore: World Scientific, 2006.
5. Campbell A. K. and Herring P. J. Imidazolopyrazine bioluminescence in copepods and other marine organisms. Mar. Biol. 1990;104: 219-225.
6. Thomson C.M., Herring P. J. and Campbell A. K. The widespread occurrence and tissue distribution of the imidazolopyrazine luciferins. J. Biolumin. Chemilumin. 1997;12(2): 87-91.
7. Herring P.J. The spectral characteristics of luminous marine organisms. Proc. Roy. Soc. Lond. B. 1983;220: 183-217.
8. Inouye S., Noguchi M., Sakaki Y., et al. Cloning and sequence analysis of cDNA for the luminescent protein aequorin. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1985;82: 3154-3158.
9. Prasher D., McCann R.O., and Cormier M.J. Cloning and expression of the cDNA coding for aequorin, a bioluminescent calcium-binding protein. Biochem. Biophys. Res. Commun. 1985;126: 1259-1268.
10. De Wet J. R., Wood K. V., Helsinki D. R., et al. Cloning of firefly luciferase cDNA and the expression of active luciferase in Escherichia coli. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1985;82: 7870-7873.
11. Lorenz W. W., McCann R. O., Longiaru M., et al. Isolation and expression of a cDNA encoding Renilla reniformis luciferase. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 1991;88: 4438-4442.
12. Viviani V. R., Bechara E.J., and Ohmiya Y. Cloning, sequence analysis, and expression of active Phrixothrix railroad-worms luciferases: relationship between bioluminescence spectra and primary structures. Biochemistry 199;38: 8271-8279.
13. Prasher D. C., Eckenrode V. K., Ward W.W., et al. Primary structure of the Aequorea victoria green-fluorescent protein. Gene 1992;111: 229-233.
14. Chalfie M., Tu Y., Euskirchen G., Ward, W.W., et al. Green fluorescent protein as a marker for gene expression. Science 1994;263: 802-805.
15. Zimmer M. Green fluorescent protein: a molecular microscope, on Photobiological Sciences Online (KC Smith, ed.). American Society for Photobiology, 2010. http://www.photobiology.info/
very so good
BalasHapus